KETULUSAN KAMERA (KAMU DAN MEREKA)
"Aku seorang guru di SDN Haratai 3, Desa Haratai,
Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Aku ini adalah Pengajar Muda (PM)
dari Indonesia Mengajar (IM) Angkatan XVIII.
Dengan rompi yang aku pakai masyarakat sudah mengenalku dari mana. Karena untuk saat ini aku menjadi estafet ke empat (PM). Enam bulan bertugas. Tanggal
10 Agustus 2019 menjadi hari pertamaku ditempatkan di sini. Aku bertugas
menjadi penerus ke empat optimisme Indonesia Mengajar di Kabupaten Hulu Sungai
Selatan, secara khusus di Desa Haratai, bahwa pendidikan itu ada. Enam bulan
perjalan di sini, sungguh membuatku jatuh cinta. Banyak sekali hal – hal yang
baru aku kenal dan rasakan. Bahagi. Tertawa. Kehangatan yang sungguh luar biasa. Itu yang
membuatku jatuh cinta. "
![]() |
Mandi di Sungai |
Di sini aku mengenal banyak hal; kultur, sosial, bahasa,
alam, tak lupa aku juga mengenal kasih dan cinta orang – orang yang luar biasa
di sekelilingku. Dari kultur contohnya aku
mengenal apa itu kepercayaan Kaharingan, apa itu baharago, baaruh, pamataan, tentang balai, baaruh basambu, baaroh ganal, dan masih banyak lagi.
Dari sosial masyarakat aku belajar banyak tentang masyarakat
Dayak Gunung Meratus karena memang di sinilah tempatku, belajar membersamai
orang – orang yang sama sekali belum pernah ku kenal sebelumnya. Melalui
kebiasaan sehari – hari mereka, bercocok tanam, tentang bagaimana mereka
disatukan dalam satu kohesi sosial yang sangat melekat, dengan gotong royongnya
yang masih tinggi, harmonis, dan sangat terbuka terhadap orang baru. Masyatakat
di sekitar Gunung Meratus sangatlah ramah. Ini dibuktikan banyaknya orang dari
luar yang datang ke desa ini. Termasuk turis yang sering menginjakkan kaki di
Dusun 3 tempatku untuk pergi ke Gunung Halau-halau yang menjadi salah satu
gunung tertinggi di Kalimantan.
Di sisi lain aku juga banyak mengenal bahasa termasuk
Bahasa Banjar dan Bahasa Dayak Meratus. Bahasa di sini berbeda – beda antar
desa. Padahal jarak antar desa tidak terlalu jauh. Bahasa Banjar di sini
mempunyai kemiripan dengan Bahasa Jawa. Misalnya kata inggih (Ia), lawang
(pintu), dan banyak lagi. Bahasa menjadi tolok ukur adaptasiku di desa,
kecamatan, bahkan di tingkat kabupaten. Karena melalui bahasa aku dapat
berbincang terbuka dan menghargai kekayaan bahasa yang dimiliki daerah.
Aku juga banyak belajar tentang alam pegunungan,
menuntutuku untuk beradaptasi. Cuaca pegunungan yang dingin, beraptasi juga
dengan pola makan/minum di desa. Orang di desaku masih menyatu dengan alam.
Makanan dan minuman bersumber dari alam di sekitar, tidak dibeli, dan masih
menunjukkan kepemilikaan bersama. Karena mereka menyakini, bahwa tanaman tua
yang berbuah saat ini adalah warisan leluruh mereka. Dijaga dan dinikmati
adalah salah nilai yang mereka utamakan untuk bersahabat dengan alam.
Desa ini selalu menghadirkan kenyamanan, alamnya juga,
percikan air sungai yang mengalir setiap hari dari kaki Gunung Meratus, Air
Terjun Haratai yang menampilkan pesona alam yang begitu indah, suara burung
yang memberikan penghiburan pagi dan menjelang sore hari. Setiap malam aku
memandang langit, aku merasakan bahwa bintang itu sungguh dekat di tempat ini.
Sungguh ini semua adalah ciptaan Tuhan yang layak disyukuri dan dijaga.
Ditanggal 02 – 02 – 2020 ini. Tanggal, bulan dan tahun
yang unik ini. Tak lupa aku juga mensyukuri akan hadirnya aku di sini. Termasuk
anak – anak yang menjadi tempatku mengajar dan juga belajar, ada banyak hal
yang tak bisa direkam kamera tapi bisa disaksikan dengan kepala mata sendiri.
Tentang ketulusan, kegembiraan, semangat, motivasi, kemauan yang tinggi,
antusias, dan sebagainya, dan sebagainya.
Tiga Puluh Tujuh
Cahaya Mimpi (SDN Haratai 3)
Ini tentang tiga puluh cahaya di Kadayang. Mengapa aku
sebut mereka sebagai cahaya? Karena cahaya selalu memberikan terang. Sudah
pasti terang itu disukai oleh banyak orang, dalam terang kita dapat menemukan
kebahagiaan, optimisme, semangat, dan harapan. Aku sebut mereka tiga puluh
tujuh cahaya masa depan di desaku. Angka itu adalah jumlah siswa/i di sekolahku.
Mereka punya tekad dan optimis, bahwa jauhnya kota dari tempat tinggalnya tidak
menjadi penghalang untuk sekolah, jauhnya akses dari kecamatan tidak menjadi
penghalang untuk bisa menampilkan kemauan. Karena keindahan masa depan
seseorang itu sebenarnya tergantung pada keyakian dan impiannya. Sekarang
mereka itu sudah yakin, bahwa mereka semangat. Hadir di sini akan membawamu
benar – benar untuk “becoming the true
you”. Karena alamnya matahari adalah menyinari dan memberi cahaya;
“alam”nya manusia adalah memberi; ketika matahari bersinar, manusia akan
berkontribusi.
![]() |
Belajar Malam |
Sebelumnya aku ingin beritahu. Nama lengkapku adalah
Bonar Situmorang. Kalau di tanah kelahiranku, Sumatera Utara nama panggilanku
adalah Bonar. Kalau di sini agak berbeda sedikit, aku itu dipanggil Bapak
Bunar. Hihihi. Baik oleh anak – anak di sekolah dan masyarakat kece di desaku. Mengapa?
Karena di sini itu orang mengenal o ( U bulat) dan U (U pecah). Unik bukan?
Di sini aku selalu di kelilingi orang – orang baik. Ada
keluarga asuhku yang menerimaku, ada masyarakat desa yang selalu memberikan
kehangatan, terutama anak – anak didik. Di desa merekalah temanku sehari –
hari. Pergi ke kayuan (hutan), mandian (mandi) di sungai, mencari buah
– buahan, apalagi saat ini di desaku lagi musim buah. Setiap hari mereka
membawa buah untukku. Pokoknya mereka adalah sumber energiku setiap hari di
sana.
Aku datang ke desa ini hanya sendirian. Awalnya tujuanku
membawa inspirasi. Sekarang justeru aku yang banyak diinspirasi oleh anak –
anak, orang tua, dan masyarakat desa. tentang bagaimana mereka melakukan
kebaikan, ketulusan, dan membuatku berefleksi akan hadirnya aku di sini. Berharap hadirnya estafet ke empat di sini akan
membawa kebaikan untuk mereka. Dulunya, aku adalah pribadi yang cukup khawatir
kalau pergi ke mana – mana. Maklum saja, daerah ini belum pernah sama sekali
aku jejaki. Baru pembagian penempatan aku ketahui bahwa di Tanah Air Indonesia ini
ada satu tempat yang begitu indah yaitu Dusun Kadayang, Desa Haratai, Kecamatan
Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Sekarang ini aku
sudah bisa memetakan kekhawatiran. Aku tidak takut lagi di sini tentang makanan,
tempat tidur, tidak bisa bahagia. Justeru aku mendapatkan semua di sini. Anak –
anak yang sering mengantarkan makanan untukku, mereka yang mengajakku untuk
tidur di rumahnya, dan mereka jugalah yang membuatku selalu menikmati setiap
hariku. Melalui orang – orang yang ada di sekitarku.
![]() |
Keseruan Mencari Buah - buahan |
Ini semua sudah aku rasakan selama enam bulan di
penempatan. Semuanya berjalan begitu cepat. Waktu terasa begitu cepat berputar
selama enam bulan ini. Benar pepatah mengatakan “di mana ada kemauan, di situ
ada jalan” apalagi di sini bukan hanya tentang jalan yang aku temukan, juga
kemauan orang – orang di sekitarku selalu memberikan optimisme.
Aku pun semakin sering menghitung hari mundurku di sini.
Mestakung (semesta mendukung). Itu nyata dan terbukti. Awal pertengahan sampai
detik ini aku selalu bersama dengan tiga puluh tujuh orang yang selalu setia
dan menjadi tempatku bercerita. Mereka patut dan layak mendapatkan satu tempat
cita – cita kelak. Tentang mereka yang selalu giat belajar, antusias mengajak
bapak gurunya membaca dan belajar malam, mereka jugalah yang menjadi
inspirasiku. Bagaimana mungkin tidak, merekalah yang mengajariku untuk hidup
menyatu dengan alam. Melangkah, bermain, tertawa, menikmati setiap proses yang
ada bersama mereka. Langkah dan pijakan kaki mereka selalu kurenungkan untuk
jadi bahan refleksiku setiap hari.
Hari Ini, Besok, Sebelum Berakhir
Tadi aku sudah bercerita tentang masyarakat desa, alam,
dan kultur yang senantiasa menjadi teman bertumbuhku. Kali ini aku akan
bercerita tentang tiga puluh tujuh orang yang selalu memberikanku energi dan recharge semangatku setiap hari. tak
luput juga bahwa mereka jualah sumber semangatku. Melihat senyum hangat mereka
setiap hari, mendengar kisah mereka, mengikuti langkah mereka, bahkan kepolosan
hati mereka akan selalu menjadi penyemangat buatku untuk menjalankan peran dan
tugas.
Mereka jugalah sering menanyakanku, kaya apa habarnya
pian pak ae? (apa kabar bapak), bapak laparankah (apakah bapak sedang lapar), pak ae kita maunjun yuk! (Pak, kita
memancing yuk), pak ae kita mandian yuk
ke sungai Panting (pak, kita mandian yuk ke sungai Panting), pauji pak? (kenapa pak). Pertanyaan –
pertanyaan ini yang selalu hadir ditelingaku sebagai bukti bahwa mereka benar –
benar memerhatikanku.
Tak lepas dari itu, enam bulan membersamai mereka adalah
waktu yang sangat kusyukuri. Mereka yang selalu hadir saat hujan dan terik
matahari. Mereka jugalah yang sering mengajakku tersenyum setiap hari, dengan
kepolosan hati mereka, senyum tawa, energi mereka yang tak pernah habis ketika
diajak bermain di alam. Mereka punya waktu selalu untukku.
Bagiku, hadirnya orang setulus mereka kadang membuatku
tidak bisa menahan haru dalam hati. Tak mudah untuk melepas mereka, kalau ada
kegiatan harus ke kecamatan atau pun ke kabupaten. Ketika aku kembali, mereka
akan langsung menyalam dan menanyakanku? “bapak dari mana?”. Mereka selalu menanyakan apakah saya sudah
makan atau belum. Tiba – tiba mereka yang menawarkan makanan. Baik saat proses
belajar berlangsung. Begitu juga di luar jam belajar di sekolah.
Tiba – tiba saja mereka menawarkan aku kerupuk yang
berada digenggaman tangannya. Pak, hatjinkah?
(pak maukah). Bapak masih kenyang,
makan saja. Sambutnya, bapak harus makan, pantang menolak makanan pak. Itu satu
dua siswa saja yang mengatakan demikian saya rasa tidak apa – apa. Bagaimana
jika itu dilakukan oleh setiap siswa yang ada di sekolah. Bisa kenyang makanan
aku setiap hari di sana. Mereka yang tiba
- tiba membawa beras kepadaku. Pak ini ada beras, nanti bapak masak ya!
Biar bapak jangan lapar. Mereka jugalah teman bermain. Tak bisa dipungkiri
kalau hari – hari ku di desa selalu saja mulus. Ada batu kerikil yang hadir di
jalan – jalan yang kulalui. Tapi, berkat melihat mereka semua itu menjadi
semangat. Karena mereka sendirilah yang menjadi temanku untuk berbagi,
bercerita, dan ambil hikmat dalam setiap perjalanan.
![]() |
Aduh, foto yok pak |
Mereka yang sering mengajakku pergi ke hutan. Mencari
buah, mencari kayu bakar, mencari hasil alam mereka, mengattam (mencari kepiting di sungai). Setiap pergi ke hutan aku
akan selalu orang yang berjalan di depan, katanya biar bapak tidak ketinggalan
di jalan. Mereka jugalah yang pertama memberiku buah. “Pak coba ini dulu, kalau
rasanya enak nanti saya ambil lagi” katanya. Ini semua tentang kehadiran mereka
bersamaku di desa.
Dengan kepolosan hati mereka. Bisa saja ketika jam
isterahat, mereka membawa buah – buahan dibagikan kepada guru. Ada durian,
duku, rambutan, dan lain masih banyak lagi. Ini semua diberi untuk bapak, tidak
perlu dibayar, katanya. Di saat seperti inilah aku benar – benar tersentuh.
Tanpa mereka di desa aku bukan siapa – siapa. Orang yang datang Sumatera sana
diterima begitu hangat. Tak ada kata – kata yang dapat mewakilkan perasaan.
Berulang, berulang, dan berulang kali aku hanya bisa
ucapkan terima kasih kepada mereka. Atas ketulusan, atas kebaikan, atas
hadirnya semangat dalam setiap kondisi, dan perhatian mereka yang tulus akan. Cerita
manis ini layak untuk dirasakan, disyukuri, dinikmati, dan layak untuk dibalas
dengan AKS18AIK.
Tags : Linimasaku